Selasa, 07 Oktober 2008

Belajar Filsafat

Dr.H.Afif Muhammad, MA

Filsafat berasal dari bahasa Yunani philo dan sophia yang artinya ”cinta kebijaksanaan.” Dari pengertian ini saja, orang dapat memahami bahwa tujuan filsafat, pada mulanya adalah mulia. Yakni, memuat orang cinta kebijaksanaan, dan seterusnya menjadi bijaksana. Filsafat merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada rasio (akal), dan karena rasio (akal) adalah anugerah Allah, maka capaiannya kadang-kadang bisa benar. Tetapi, karena ia bukan wahyu, maka akal pun bisa keliru.

Dengan demikian, capaian filsafat ada yang baik, dan ada pula yang buruk. Yang baik, misalnya, ketika Thales mengatakan bahwa segala sesuatu ini berasal dari air, jauh mendahului Alquran. Thales mengatakannya sekira abad ke-6 SM, sedangkan Alquran mengemukakannya pada abad ke-6 SM. Herakleitos mengatakan bahwa, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berubah dan terus mengalir bagaikan sungai (panta rei), dan Alquran mengatakan bahwa alam semesta ini fana. Fana adalah lawan dari baqa, dan jika baqa berarti kekal (tidak berubah, abadi), maka fana berarti tidak kekal, alias rusak. Lalu, ketika Plato menegaskan adanya alam idea, maka pandangannya ini dapat mendukung teori tentang wahyu.

Di dalam contoh-contoh di atas kita menemukan bahwa, pada kali-kali tertentu apa yang dicapai filsafat dibenarkan oleh wahyu (agama), dan ada kesesuaian antara keduanya. Tetapi, pada kali lain, banyak pula ajaran-ajaran filsafat yang bertentangan dengan wahyu (agama). Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lain, produk filsafat tidak semuanya baik, tetapi ada yang buruk. Sisi buruknya bisa sangat berbahaya. Sebab filsafat berbicara tentang berbagai persoalan penting, antara lain tentang manusia, agama, dan Tuhan. Liberalisame, ateisme, Marxisme, komunisme, adalah sekadar beberapa contoh produk filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, beberapa pemikiran filsafat memang dapat membahayakan akidah, khususnya akidah orang awam. Karena itu mereka harus dilindungi.

Ada dua macam cara untuk melindungi akidah dari ancaman filsafat. Pertama, mengharamkan filsafat dan melarang peredaran buku-bukunya, seperti yang dilakukan Arab Saudi. Cara ini memang sangat efektif, tetapi mengandung risiko besar. Dengan pelarangan seperti itu, masyarakat atau umat akan semakin tidak mengerti filsafat. Padahal di Indonesia filsafat tidak dilarang, dan buku-bukunya diedarkan secara luas. Jika masyarakat tidak mengerti filsafat, mereka bisa-bisa termakan filsafat tanpa mereka sadari.

Cara kedua adalah mempelajari filsafat secara kritis untuk menemukan titik-titik kesalahannya, lalu menjelaskannya kepada umat. Misalnya, apa itu komunisme dan apa pula bahayanya. Di situ, tidak bisa tidak seseorang harus mempelajari filsafat terlebih dulu, dan harus pula memiliki landasan akidah yang kuat. Ketika Imam Al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah menyerang filsafat, mereka berdua menunjukkan penguasaannya yang sangat kuat tentang filsafat yang ditentangnya. Tujuan seperti itulah yang dimiliki oleh Jurusan Aqidah dan Filsafat (bukan Aqidah-Filsafat) ketika ia didirikan. Di jurusan ini akidah dipelajari secara mendalam sebagai landasan yang dengan itu persoalan-persoalan filsafat dikritisi secara mendalam.

Jurusan Aqidah dan Filsafat di IAIN Bandung berdiri pada tahun 1989, dan sayalah ketua jurusan pertamanya. Begitu saya ditunjuk menjadi ketua jurusan, saya segera sadar bahwa jurusan ini adalah jurusan ”keras.” Karena itu harus diambil langkah-langkah yang dapat mengawal para mahasiswa agar tidak mengarah pada hal-hal yang membahayakan. Sebab para mahasiswa, sesuai tingkat perkembangan jiwa dan intelektualnya, adalah manusia-manusia yang serbaingin tahu. Secara kebetulan atau tidak, di Jurusan Aqidah dan Filsafat diajarkan ilmu-ilmu yang, untuk para mahasiswa semester-semester awal, pasti terbilang baru, bahkan tidak ditemukan di jurusan-jurusan lain. Akibatnya, ketika mereka memperoleh pengetahuan seperti itu, mereka cenderung ingin memamerkannya kepada orang lain, sehingga keluarlah ungkapan-ungkapan yang bagi orang lain mungkin terdengar aneh. ”Tuhan telah Mati,” kata Nietzsche, dan ”religion is the opium of the people,” kata Marx. Bayangkan, bagaimana menyengatnya ucapan-ucapan seperti itu. Lantas, tidakkah hal seperti itu harus dihadapi, dijelaskan, dan dikritisi?

Sebenarnya, ”Tuhan telah mati” dan ”religion is the opium of the people,” adalah semangat kritis yang dilancarkan para filosof Barat terhadap cara pemahaman dan pengamalan ajaran Katolik di kalangan kaum borjuis yang dipandang menindas kemanusiaan. Tetapi ia bisa pula tertuju pada semua agama, sepanjang pemahaman dan pengamalan agama-agama tersebut menunjukkan fenomena serupa. Misalnya, korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Muslim, dan kemewahan yang diperlihatkan para pemimpin agama, sementara sebagian besar umatnya berada dalam kondisi miskin.

Bagi mahasiswa semester-semester awal, tema-tema seperti itu merupakan hal-hal baru yang pasti tidak dipelajari oleh mahasiswa jurusan lain, apalagi mahasiswa yang baru memasuki masa ta`aruf. Lantas, para seniornya menjadi ingin memamerkan ilmu barunya dengan mengatakan, ”Tuhan telah mati,” misalnya.

Perlu diketahui bahwa IAIN Bandung, sebagaimana IAIN-IAIN lainnya, dewasa ini sangat membuka diri terhadap lulusan sekolah menengah umum yang secara faktual kurang memiliki landasan keilmuan Islam yang kokoh. Ketika mereka kemudian belajar filsafat, maka semangat kritis mereka tidak didasarkan pada landasan akidah yang kuat. Akibatnya segera bisa ditebak, yang muncul adalah sikap arogan dan sembrono, semata-mata karena ingin pamer ilmu.

Sebenarnya hal semacam itu tidak perlu terjadi. Sebab, Jurusan Aqidah dan Filsafat tidak hanya mengajarkan filsafat Barat yang sebagiannya bertentangan dengan ajaran Islam. Dari judul jurusannya saja, kita sudah dapat menangkap isyarat jelas bahwa jurusan ini mengajarkan akidah Islam, bahkan juga tasawuf dalam porsi yang cukup besar. Pada saat saya menjadi ketua jurusan, yang mengajarkan filsafat adalah dosen-dosen yang sangat ahli dalam bidangnya, misalnya Prof. Ahmad Tafsir dan Prof. Juhaya S. Praja. Saya yakin betul bahwa kedua dosen ini dapat mengajarkan filsafat Barat dengan sangat baik, sehingga para mahasiswa memperoleh pengetahuan dan bekal yang cukup. Untuk landasan akidahnya, diajarkan teologi Islam. Teologi Islam lazimnya diajarkan dengan pendekatan aliran-aliran: Asy`ariah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Salafiah, Syi`ah, dan lain-lain, yang juga menggunakan pendekatan filosofis.

Sadar akan ”keras”-nya filsafat yang diajarkan di Jurusan Aqidah dan Filsafat, maka saat itu saya berusaha ”mengawal” secara ketat pelajaran Ilmu Kalam ini. Sebab, jika filsafat diajarkan oleh para doktor, maka Ilmu Kalam pun harus diajarkan oleh dosen yang benar-benar menguasai bidangnya. Karena itu, di samping saya sendiri yang mengajar, saya juga menempatkan dosen-dosen senior untuk ikut mengawal. Dengan demikian, filsafat Barat bergerak seimbang dengan akidah yang diajarkan lewat Ilmu Kalam.

Akan tetapi kondisi seperti itu jelas tidak akan pernah berjalan stabil dan mapan. Sebab, tak lama sesudah itu saya dialihtugaskan menjadi Ketua Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada saat yang sama para doktor yang saya sebut di atas mendapat tugas-tugas baru, dan meninggalkan jurusan Aqidah dan Filsafat. Lantas, terjadilah kepincangan seperti yang dikemukakan saudara Solatun: filsafat Barat didorong lebih kencang dan pengajaran akidah kurang dapat mengimbanginya (”PR”, Rabu/13 Oktober).

Dengan tuturan di atas, saya bukan bermaksud mencuci tangan dengan menimpakan kesalahan kepada para dosen muda sesudah kami, tetapi sekadar mengingatkan bahwa keseimbangan seperti itu harus selalu dipertahankan. Dalam suatu diskusi malam hari yang pernah diadakan oleh para mahasiswa Aqidah dan Filsafat saya diundang untuk membedah pemikiran Nietzsche. Itu waktu saya bertanya kepada para mahasiswa, ”Mengapa Anda lebih tertarik pada Nietzsche dan tidak pada Iqbal atau Ghazali?” Terus terang mereka tidak menjawab, dan saya merasa sangat prihatin ketika menangkap kesan bahwa mereka memang belum belajar Iqbal dan Al-Ghazali.

Saya juga harus mengatakan bahwa, sampai saat ini saya masih mengajar filsafat Barat, khususnya di Program Pascasarjana. Setiap awal semester, saya selalu memulai perkuliahan filsafat dengan menjelaskan manfaat dan madharat belajar filsafat, dan di akhir semester para mahasiswa saya tanya, ”Apakah dengan belajar filsafat seperti yang sudah kita jalani satu semester ini iman Anda menjadi goyah?” Para mahasiswa saya menjawab, ”Tidak, bahkan semakin menambah keimanan kami”.

Akan tetapi, secara jujur saya harus mengakui bahwa, kasus yang belakangan ini melanda jurusan Aqidah dan Filsafat adalah akibat kelalaian kami, termasuk saya sendiri. Faktor-faktornya tidak hanya pada keseimbangan itu sendiri, tetapi pada metode dan isi pengajaran akidah Islam. Hingga pertemuan di Lembang yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu dalam rangka merekonstuksi pembidangan ilmu keislaman, saya kembali mengemukakan keluhan saya tentang perlunya memberi tambahan sks untuk mata kuliah tauhid dan akhlak. Tetapi hingga saat ini harapan saya itu ibarat teriakan di padang pasir. Karena itu, kiranya sudah tiba waktunya bagi Jurusan Aqidah dan Filsafat, bahkan semua jurusan di IAIN untuk memberi bobot yang lebih besar pada kedua mata kuliah tadi (akidah dan filsafat).

Terlepas dari itu semua, teriakan ”Anjing hu Akbar” saya yakin hanya mungkin diucapkan oleh seorang mahasiswa dungu yang sok pamer, dan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Jurusan Aqidah dan Filsafat, apalagi dengan IAIN Bandung. Tidak ada mata kuliah apa pun di IAIN Bandung, tak terkecuali di Jurusan Aqidah dan Filsafat, yang mengajarkan hal seperti itu. Dengan demikian, mahasiswa yang meneriakkan ucapan itu harus ditindak tegas. Rektor dan dekan tidak perlu ragu-ragu melakukannya. Tentu saja sesudah dia diminta klarifikasinya. Akan tetapi, kesimpulan yang mengatakan bahwa IAIN mengajarkan dan menyebarkan paham ateis, komunis, sinkretisme, dan bahwasanya di IAIN Bandung paham itu tumbuh dengan subur, adalah suatu kesimpulan gegabah. Dan, jika benar kesimpulan itu sudah disebarluaskan ke masyarakat, maka ia harus dipertanggungjawabkan.

Artinya, sudahkah kesimpulan seperti itu didasarkan atas penelitian yang cukup bisa dipercaya, atau —setidak-tidaknya— didukung oleh fakta yang akurat? Apakah dengan adanya ucapan ”Anjing hu Akbar” yang diteriakkan oleh salah seorang mahasiswa, lantas bisa disimpulkan bahwa IAIN, khususnya Jurusan Aqidah dan Filsafat, menyebarkan ajaran ateis, komunis, dan anti-Tuhan? Kalau ya, tidakkah seseorang juga bisa mengatakan bahwa, ketika ada dua orang mahasiswa dan mahasiswi Itenas dan Unpad melakukan hubungan seks bebas yang direkam dan kemudian disebarluaskan dalam bentuk vcd, berarti Itenas dan Unpad mengajarkan dan menyebarkan seks bebas? Tentu saja tidak. Sebab, itu hanyalah ulah seorang oknum mahasiswa, dan kita tidak perlu terjebak dalam hujat-menghujat seperti itu.

Masih banyak mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat yang baik-baik, di antaranya empat orang mahasiswa dari sekira 30 orang mahasiswa yang diterima di Program Takhassus, suatu jumlah yang terbilang banyak dibanding wakil dari jurusan-jurusan lain di IAIN. Program Takhassus adalah prgram yang dirancang IAIN untuk mempersiapkan kader-kader ulama. Di program ini diajarkan Qira`ah, Ulum Alquran, Ulum Alhadits, tafsir dan ilmu-ilmu keislaman lainnya secara mendalam. Salah satu syarat untuk bisa diterima di program ini adalah mampu membaca kitab gundul. Jangan lupa pula bahwa para lulusan jurusan ini juga ada yang jadi kiai pesantren, dosen pendidikan agama yang baik di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, wakil bupati, dai yang andal, dan aktivis-aktivis LSM.

Lalu, jika penyebaran vcd Bandung Lautan Asmara beberapa waktu yang lalu dianggap sebagai tindak kejahatan, maka dari segi hukum penyebaran vcd kasus ta`aruf mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat juga dapat dikategorikan dalam kejahatan serupa. Karena itu, sebagaimana halnya dengan mahasiswa yang mengucapkan kalimat munkar itu, oknum yang menyebarkannya juga mesti dimintai pertanggungjawaban, dan harus ditindak secara tegas.

Akhirnya, perlu juga saya kemukakan bahwa, jangan kata menyebarkan paham ateis, komunis, dan sinkretis, yang dilakukan oleh IAIN dan para mahasiswanya adalah menyebarkan Islam ke segenap penjuru.

Cobalah Anda berjalan-jalan suatu sore, lalu mampirlah ke setiap masjid besar dan kecil yang tersebar dari Cileunyi hingga Cimahi, lalu tanyalah pengurus masjidnya tentang siapa yang jadi ”kuncen” masjid itu, dan siapa pula yang menjadi guru di TPA-TPA yang diselenggarakan di masjid-masjid itu, saya jamin Anda akan mendapat jawaban bahwa sebagian besar dari mereka adalah anak-anak IAIN.

Saya juga harus menginformasikan kepada pembaca bahwa, dulu Cipadung adalah daerah ”basis merah”. Kecuali masjid IAIN (dulu Diklat milik Depag), boleh dikata tidak ada masjid di daerah ini. Sekarang, setiap RW mempunyai masjid, bahkan ada yang sampai dua atau tiga.

Dengan bukti seperti ini, dapatkah IAIN disebut sebagai menyebarkan paham ateis? Karena itu, sebaiknya FUUI lebih dulu datang ke IAIN untuk melihat dari dekat apa yang sebenarnya ada di perguruan tinggi Islam ini, dan karena itu pula, saya sangat gembira ketika mendengar bahwa pihak rektor bermaksud mengundang FUUI dan para tokoh Islam untuk berdialog di IAIN.

Saudara Rizal Fadhilah yang menurut pengakuannya juga menyayangi IAIN menyambut gembira rencara dialog itu, dan bahkan sudah menyatakan kesediaannya untuk datang. Nah, daripada kita saling menghujat, lebih baik tabayyun dan dialog yang dapat memberi masukan kepada IAIN dalam memperbaiki dirinya dalam menyongsong tantangan yang semakin berat. Wallahu A`lam bish Shawab.

Dr.H.Afif Muhammad, MA
adalah Mantan Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat, dan kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

SUMBER: PIKIRAN RAKYAT Bandung